Rabu, 20 April 2011

“Rangkailah puisi tentang masa!” pintamu
Agar aku menjelma mahabintang
Tapi apa yang kubisa?
Sedang masa hanya sekali berlari

Masa lalu?
Sedang aku lupa akan cerita
Tentang rahasia yang kita peram
Tentang sulut mentari pada awan
Tentang sulbimu yang bersetangkup selendang
Tentang madahku pada pelepah dan ranting

Masa kini?
Sedang aku enggan bertitah
Tentang rahasia yang lantang berkoar
Tentang awan yang beralih hujan
Tentang selendang yang kian rimpuh
Tentang ranting yang kau bakar jadi arang

Masa depan?
Sedang aku mustahil berdusta
Tentang rahasia yang hanya diketahui sejuta orang
Tentang hujan yang membakar lapak kita
Tentang selendang yang kau jadikan atap rumah
Tentang arang ranting yang ditumbuhi daun

Kucari kau dalam ruahku
Lantas kutanya
“Kapankah seorang pujangga
Tak perlu menulis puisi?”


Labessi, 20 April 2011

Senin, 18 April 2011

Berkisahlah pada Darah

Berkisahlah pada darah
Cerita kekaguman tak berarah
Sekadar kenaifan yang parah

Cerita ini sepuing makna
Diterjemahkan seribu bahasa
Meski tak tertulis kata

Itu. . .
Adalah keajaiban misterius yang satu
Adalah keindahan binar dalam waktu
Adalah pendegup jantung Sang Ratu

Darah menitipkan kekaguman berwarna
Lewat nadi dan vena
Tapi di mana?

TANPA LARIK-LARIK PUISI



Penulis puisi memberi makna secuil
Tapi aku mustahil
Bisa-bisa kuculik makna Taufik Ismail
Untuk larik puisi yang jahil


Kahlil Gibran adalah pujangga
Merangkai selaksa diksi tak berongga
Jika diksi tak terhingga
Kan kutulis larik puisi dengan bangga
  

Aku bukan pujangga dengan kata

Aku bukan orator dengan retorika

Aku bukan musisi dengan nada


Siapa Taufik Ismail?
Di mana makna?
Siapa Kahlil Gibran?
Di mana diksi?
Kaukah Taufik Ismail?
Ke mana makna?
Kaukah Kahlil Gibran?
Ke mana diksi?


Biar kelumpuhan yang mengejarku
Lalu diam yang jawab tanyaku
Dan gelap yang tatap reaksiku
Sebelum yang buta huruf
Mengajariku menulis puisi




(Labessi, 26 Mei 2010)

Sabtu, 16 April 2011

Jiwa Seniku Mati



Pernah kucari kata
Di sela siang tak bermentari
Kala burung-burung membuang sayap
Ikan-ikan lelah berenang
Dan kaki-kaki kuda dilumpuhkan

Kejanggalan telah merabungkan kata-kata
Kini petang yang ditinggal binar
Kala awan-awan menghijau
Dan batang-batang tak berakar

Aku kehilangan kata
Aku kehilangan jiwa
Aku kehilangan sastra
Aku kehilangan makna
Aku kehilangan retorika
Aku kehilangan ...

Kini berkabunglah, dunia!
Terhadap jiwa seniku yang mati


(Labessi, 8 Mei 2010)